Bagi yang bersedia baca semua tulisan2 nggak penting aku, selamat anda telah menjadi orang yang kurang beruntung... wkwkwk.. :D

Selasa, 08 Februari 2011

Minus Oh Minus [cerpen]

Wajahku masih terlihat begitu berantakan di depan cermin yang sudah menjadi saksi bisu kehidupanku. Selama beberapa tahun ke depan, aku harus bersabar dengan kacamata minus ini. Beberapa hari yang lalu, dokter mata menfonis mata aku minus. TIDAK!! Padahal aku bercita-cita menjadi pramugari. Pupus sudah harapanku. Pramugari kan tidak boleh memiliki kecacatan sedikitpun. Sedihnya..?
“Gita.. udah donk nangisnya.” kata mamaku yang tiba-tiba sudah berada di depan kamarku.
“Aku sedih banget Ma. Padahal cita-cita aku selangkah lagi bakalan ada digenggaman. Tapi.. tapi.. hiks..”
“Git, jangan gitu ah, kamu masih bisa kok menggali potensi yang ada dalam diri kamu. Mama yakin, Tuhan sudah merencanakan hal yang lebih indah buat kamu dari sekedar menjadi pramugari. Sudah ya, sayang.”
“Tapi aku kan pinginnya jadi pramugari.” kataku masih sesegukan.
“Gita, mama ngerti itu keinginan kamu sejak dulu, tapi ingat, manusia hanya bisa berencana tentang apa yang dia ingin lakukan, namun tanpa seijin Allah, mana mungkin hal itu bisa terjadi, sayang? Percaya sama mama deh, kamu pasti lebih berhasil.”
***
Besoknya di sekolah, aku masih murung soal minusnya mataku ini. Apa iya gara-gara aku jadi anak sekolah yang terlalu rajin belajar? Tiap hari selalu membaca buku, dan mengerjakan soal-soal matematika? Sampai semua rumus itu menari di otak dan mataku?
“Git, aku punya berita bagus buat kamu.” Tiba-tiba temanku, Alisa datang.
“Ape?”
“Ada olimpiade matematika, kamu ikut gih. Kali aja nanti kamu lulus seleksi dan bisa jadi wakil dari sekolah kita.”
“Ogah ah, lagi bad mood banget nih.”
“Yah kok gitu sih, hadiahnya lumayan lho? Duit 2 juta gitu. Itung-itung nambah uang saku kamu kan? Masa’ kamu punya ilmu yang luar biasa nggak dimanfaatin sih?”
Iya juga sih.. lebih dari lumayan tuh. Tapi aku masih bad mood soal mataku yang minus. Tapi nggak ada salahnya juga sih dicoba, toh aku juga bisa lebih mengasah kemampuanku.
“Ah gak ah, aku lagi bete banget gara-gara aku pake’ kacamata nih sekarang.”
“Yee.. apa hubungannya Git? Udah yuk ikut aku daftar. Ayok.”
“Waduh.. maksa banget?”
“Ayo lah Git.. kamu tuh kenapa sih? Masa’ hal kayak gitu menghalangi kamu buat maju? Hidup kamu nggak berhenti setelah mata kamu minus kan? Ambil aja hikmahnya deh. jangan kamu bikin bete mulu.”
“Hikmah apaan? Aku jadi semakin aneh dengan kacamata ini tau! Aku juga jadi nggak bisa masuk sekolah pramugari. Semuanya itu hancur gara-gara mata aku minus, ditambah dengan kacamata ini semakin kelihatan kalo aku itu punya kelainan penglihatan. Huh!”
“Trus kamu mau kayak gini terus? Hidup dalam ke-bete-an? Hanya gara-gara kayak gitu? Kamu juga nggak terlihat jelek kok dengan kacamata itu. Ayolah Git.”
Aku pun terdiam sejenak. Kasihan juga sih Alisa udah berusaha keras ngeyakinin aku, masa’ aku nggak bisa menghargai usaha keras Alisa? Dia kan sahabat aku, masa’ aku mau bikin sahabat terbaik aku kecewa?
“Hey, Reno juga ikut lho? Rugi kamu nggak ikut juga. hihi.”
“Oya?? (dalam hati kegirangan, tapi kenyataannya masih be-te)”
“Ayolah,Git..”
Nggak tahu kenapa akhirnya aku nurut aja sama ajakan Alisa buat daftar olimpiade matematika. Yah.. walau dengan wajah agak bete tapi hati kegirangan karena Reno. Hehe.
Eh, aku belum cerita ya, Reno itu temen satu sekolah aku. Udah lama aku naksir dia. Sayangnya aku nggak pernah berani buat bilang kalau aku naksir dia, tengsin abis. Dia cowok paling kalem, santun dan baik hati yang pernah aku kenal. Dia juga menyukai matematika sama kayak aku.
Setelah aku daftar, aku sama Alisa pun kembali ke kelas, tapi diperjalanan menuju kelas, tiba-tiba aku menabrak seseorang, yang menyebabkan kacamata sialan aku juga cowok itu jatuh.
“Waduh.. sorry ya. Aku nggak sengaja.” Kataku sambil mengambil kacamataku juga kacamata cowok itu.
“Eh? Dia kan Reno, Git?” kata Alisa agak berbisik.
“HAH?!”
“Sstt! Nggak usah kaget gitu kale?”kata Alisa.
“Ehmz.. Reno?” tanyaku.
“Eh kamu, Git?” kata Reno sambil tersenyum manis.
“Sorry ya Ren, ini kacamata kamu.” Aku pun menyerahkan kacamatanya dengan tangan gemetar.
“Iya nggak apa-apa. Makasih ya.”
“Kamu sekarang pake’ kacamata, Ren? Sejak kapan?”Tanya Alisa.
“Baru aja kok, hehe.. Aneh ya?”
“Enggak kok Ren. (sambil terpesona pada Reno), eh, maksud aku, lumayan nggak bisa dikenali. hehe.”
“Ah masa’?”
“Haduh, ngaco aja nih? Eh ya udah, duluan ya Ren. Ayo Git. Gurunya udah masuk kelas tuh.”
“Oh iya..”
“Waduh.. Lis.. Aku..”
Hadoh!! Sial banget!! Padahal aku mau lama-lama ngobrol sama Reno…? Dasar sial nih si Alisa!! Huh! Nggak ngerti aku pingin banget tuh.. ?
“Kalo kelamaan, makin kemana-kemana omonganmu Git.. Hahahhaa..”celoteh Alisa.
“Hih!! Dasar!!! Eh Lis, aku sama Reno serasi ya? Hehe.”
“Serasi? Darimananya?”
“Kan sama-sama pakai kacamata. Hahahaha.”
“Supir aku juga pakai kacamata, berarti kamu juga serasi donk sama dia. Hahaha.”
“Sial!!”
“Hahaha, kalau kata kamu serasi sama Reno gara-gara kacamata, nggak nyesel pakai kacamata kan??”
Mendengar hal itu, aku hanya tersenyum. ?
***
Beberapa hari kemudian, aku pun mengikuti seleksi olimpiade itu. Dan hasilnya, aku sama Reno menjadi wakil sekolah dalam ajang olimpiade itu. Senangnya.. Karena setiap sekolah mengirimkan 2 wakilnya, jadi kuotanya sudah pas untuk aku sama Reno. ‘Perang’ pun baru akan dimulai!
Setelah tahu pengumuman itu, Reno ngajak aku pulang bareng. Hari ini kami pulang pagi. Parahnya aku, sepanjang perjalanan aku terus menguap di depan Reno. Malu? Ah enggak ah.. Aku tuh anaknya cuek setengah hidup. Haha..
“Kamu lucu banget sih Git?” kata Reno
“Emanknya kenapa?”
“Biasanya kan cewek tuh gengsi dan tengsin banget menguap di depan cowok, eh kamu malah cuek gitu? Hehe..”
“Aku emank kayak gini Ren, muka badak. Haha.. Asalkan itu nggak merugikan orang lain buat apa aku malu..”
“Aku kagum sama kamu Git. Kamu tuh orang yang apa adanya. ?”
Allah!!! Reno? Seorang Reno? Kagum sama cewek kayak aku? heran deh. Tapi nggak apa-apa deh. Kemajuan pesat tuh. Haha. Ternyata nggak rugi juga mataku sampai minus kalau bisa ikut olimpiade dan bisa lebih dekat dengan Reno. hihi
Setelah ngobrol panjang lebar dengan Reno, mataku tertuju pada sosok mungil di depanku. Seorang anak penjual Koran. Bajunya lusuh dan kusam. Walau begitu, dia tidak pernah menyerah untuk menjual koran-korannya. Aku pun sedikit tertegun saat melihat anak itu. Perasaan iba juga muncul di hati.
***
Sesampainya di rumah, aku melihat mama yang berdandan serba hitam. Entah apa gerangan yang membuat mamaku yang glamour itu menjadi berselimutkan pakaian hitam legam. (hah? Lebay)
“Mau kemana Ma?”
“Takziah. Bu Marni tetangga sebelah baru saja meninggal. Sudah dulu ya sayang.” Mamapun pergi.
“Innalilahiwainailaihirojiun..”
Dan usut punya usut, waktu aku tanya mama pas pulang dari takziah, Bu Marni meninggal karena terlalu memikirkan anaknya yang menjadi pramugari. Dia tidak pernah pulang sejak beberapa bulan yang lalu. Sehingga penyakitnya kambuh dan akhirnya Bu Marni meninggal.
Malamnya, saat lagi bersantai sama mama, tiba-tiba aku mendapatkan sebuah pemikiran tentang cita-citaku. AKU INGIN MENJADI GURU. Dan hal itu pun aku ceritakan pada mamaku.
“Ma, salah nggak sih kalo aku pingin jadi guru?”
“Jadi guru? Kenapa kamu tiba-tiba berfikir begitu?”
“Tadi pas pulang sekolah, aku ngeliat anak kecil. Kasihan deh Ma, seharusnya dia kan sekolah, eh malah jualan koran di pinggir jalan. Pasti tuh anak nggak ada biaya buat sekolah. Terus aku berfikiran untuk menjadi guru yang mengajar di sekolah dan saat di luar jam mengajar di sekolah, aku jadi guru sukarela, pokoknya bisa mengajar terutama anak-anak yang kurang mampu agar mendapatkan pengetahuan. Aku pingin ngumpulin mereka dalam suatu tempat dan bisa berlajar bersama.”
“Mulia sekali cita-cita kamu sayang. Mama bangga sama kamu. Kalau tujuan kamu seperti itu, mama mendukung penuh. Asalkan kamu harus serius dalam menjalaninya dan bisa bertanggungjawab dengan apa yang kamu kerjakan. Eh iya, ngomong-ngomong, kamu nggak pingin menangis lagi soal batalnya kamu masuk sekolah pramugari?”
“Nggak deh Ma, buat apa menangisi lagi hal kayak gitu. Nangis juga nggak bakal bikin mataku normal kayak sebelum minus. Aku sekarang mulai bisa ngambil hikmah dari ini semua. Salah satunya aku nggak bakal ninggalin mama dalam waktu lama untuk sebuah pekerjaan. ?”
Dan mamaku pun tersenyum sambil memelukku.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar