Sabtu, 25 Juni 2011
3 Idiots membuka pikiranku...
dibangku sekolah, bukan nilai dan ijazah yang kita cari, tapi sebuah ilmu yang akan mengantarkan kita pada suatu kesempurnaan. walau jalan yang kita tempuh untuk meraihnya tidak semulus yang kita bayangkan. kita harus berani mengambil resiko dan menjadi berbeda dari yang lain. membuat semua orang menjadi kagum dan meneteskan air mata atas apa yang telah kita lakukan. it's mean, yang kita lakukan adalah sesuatu yang luar biasa.
aku jadi berpikir, dengan jalan yang sudah aku pilih, aku harus mempertanggungjawabkannya. aku harus sukses! aku merasa di semester yang kemarin dan saat ini, aku sangat jauh dari kata maksimal. namun, setelah melihat film itu, aku jadi termotivasi untuk menjadi seorang yang berhasil. aku ingin melihat senyum bahagia terurai dari seseorang yang sangat aku sayangi.. aku ingin dia bangga akan diriku. aku ingin membuat suatu perubahan pada semester depan. aku ingin belajar dengan rajin. apapun hasil yang akan aku dapatkan nanti, aku akan menerimanya. yang penting aku sudah berbuat semaksimal mungkin.
SEMANGAT BELAJAR ALFIN ANISTYA!!!
WALAU KEMARIN HASIL YANG KAMU DAPAT KURANG MEMUASKAN, TAPI JANGAN KHAWATIR, MASIH ADA KESEMPATAN!
YAKIN ALLAH AKAN BANTU KAMU!!
ALL IS WELL!! ^^
Senin, 20 Juni 2011
From Smada With Love
Minggu siang itu, aku kayuh sepeda roda duaku. Beberapa saat kemudian, sekolah megah itu berada di depan mataku. Itu sekolah yang sudah aku tinggalkan tahun lalu. SMA Negeri 2 Jombang atau yang disingkat SmaDa Joe adalah sekolah yang menyimpan berjuta kenangan. Sekolah yang terletak di Jalan Wahidin Sudirohusodo no. 1 kota Jombang, Jawa Timur itu, tidak akan pernah terlupa.
Aku pun turun dari sepedaku dan memarkirnya di sebelah pos satpam dekat pintu gerbang utama sekolah.
“Sekolah ini tidak banyak berubah,” kataku sambil tersenyum.
Aku pun duduk di bawah pohon yang rindang, sambil menikmati suasana sekolah. Seketika kejadian yang pernah ku alami keluar begitu saja dari ingatan dan mulai memutar detik tiap detik kisahnya.
***
Semuanya berawal ketika aku berkenalan dengan Annas. Saat itu kami masih duduk di bangku kelas 2 SMA. Cowok tinggi, berkulit sawo matang, memiliki senyum manis dan berkacamata itu dalam sekejap telah mampu menghipnotis hatiku. Terlebih lagi, banyak yang menyebutnya mirip penyanyi pop Afgan Syahreza.
“Hay Nisa..” sapa Annas saat aku berjalan menuju pintu keluar yang berada di samping parkir motor siswa.
“Hay Nas.”
“Nis, aku anterin pulang yuk.”
“Hah? Serius?”
“Iya. Bentar ya aku ambil motor dulu.”
Annas pun segera menuju tempat parkir motor siswa yang berada di dekat lapangan sekolah dan berbatasan langsung dengan kantin sekolah. Nggak lama kemudian, saat aku dan Annas melaju keluar sekolah, banyak teman kami yang bersorak sorai nggak karuan. Oh my God? Malu banget!
Kedekatan kami pun terus berlanjut hingga membuat sahabatku penasaran hubungan apa yang sebenarnya terjadi antara aku dan Annas.
“Nis, kamu lagi dekat sama Annas anak IPS 2 itu ya?” Tanya Tya ketika aku baru masuk kelas.
“Hah?”
“Iyakan? Cie.. kok nggak cerita sih?”
“Anisa!” teriak Dita yang tiba-tiba muncul dari balik pintu kelas.
“Eh, beneran kamu jadian sama siapa itu namanya? Bocah berkacamata itu?” Tanya Dita
“Annas? Enggak kok. Kami cuma berteman, hehe,”
“Bohong?” kata Tya dan Dita bersamaan.
Tapi memang benar, aku nggak jadian sama Annas, kami hanya berteman. Berteman dekat.
***
Ternyata kakiku melangkah lebih jauh ke dalam area sekolah. Dimulai dari jalan tengah gerbang utama masuk area sekolah. Kolam air mancur yang indah langsung terlihat, begitu juga dengan kelas-kelas yang mengelilingi air mancur itu. Aku mulai mendekati kelas yang selama satu tahun kemarin aku dan teman-teman gunakan belajar. Kelas XII IPS 3. Kelas yang berada di tengah antara kelas XII IPS 2, kelasnya Annas, dan toilet. Kelas yang tidak terlalu besar itu, menyimpan banyak kenangan bersama 36 temanku. Terkadang aku berpikir, andai ada mesin waktu, pingin banget kembali di saat aku masih menjadi siswi SMA. Selalu ceria, tanpa beban, dan santainya minta ampun.
Setelah itu, aku duduk di depan kelas XII IPS 3. Aku melihat suasana sekitar. Taman di depan kelas XII IPS 2 masih terlihat asri. Sudah banyak tanaman yang tumbuh di taman yang berada di area tengah beberapa kelas X itu. Teras depan kelas yang melingkari taman itu, adalah salah satu jalan yang sering aku lewati. Tiba-tiba, memori tentang masa itu kembali terkuak. Saat di mana aku terluka.
***
Suatu siang setelah sekolah usai, kami duduk di salah satu sisi taman di area kelas X. Aku bermaksud menayakan bagaimana kelanjutan hubungan kami. Tapi bukan jawaban memuaskan yang aku dapat, namun..
“Nis, bukan maksud aku bikin kamu kecewa, tapi kalau kita harus pacaran, aku nggak bisa. Aku belum siap untuk itu. Ini semua nggak usah dilanjutin lagi ya, Nis. Aku juga nggak pingin kita berdua sama-sama tersiksa. Aku minta maaf. Aku harap kamu ngerti.”
Gawat! Mendengar semua itu, airmataku sudah mulai jatuh. Tanpa berpikir panjang, aku pergi meninggalkan Annas. Dia nggak boleh tahu kalau aku sangat terluka dengan apa yang baru saja dia ucapkan.
***
“(sambil tersenyum) Ternyata aku dulu begitu kekanak kanakan. Menangis hanya karena persoalan seperti itu. Tapi.. di tempat ini.. ” Kataku yang kini sudah duduk di pinggir lapangan sekolah. Lapangan yang terletak tak jauh dari kelas XII ini, adalah saksi bisu akan kejadian yang tidak akan pernah aku lupakan.
***
Satu tahun berlalu, hubunganku dengan Annas yang sempat membeku, kini sudah mencair, kami sudah akrab kembali. Walau terkadang luka itu masih terasa sakit, namun aku berusaha untuk tidak menunjukkan perasaan itu dan tetap baik padanya.
Hingga pada suatu siang, Annas kembali mengatakan hal yang membuat aku terkejut.
“Nis, aku pingin jujur tentang sesuatu. Aku nggak tahu kenapa aku kayak gini. Di saat perasaanku yakin sama seseorang, aku malah harus ngerelain orang itu. Aku nggak mau orang itu terluka. Aku malu, aku udah pernah buat orang itu terluka, tapi dia selalu baik sama aku.”
“Hah? Maksudnya? Terus yang kamu maksud dengan orang itu?”
“Kamu.”
Oh my Godness..
“Aku juga mau jujur, Nas. Sebenarnya aku juga nggak pernah lupa.”
“Nggak pernah lupa? Tentang apa? Sama siapa?”
“Kamu.”
Dan Annas pun hanya bisa terdiam dengan raut muka yang sedikit kaget.
***